Selasa, 06 Desember 2011

Bunda Galau

Gramedia, ahad sore.

“Silahkan bu, cd brainy babynya, cuma 30rb. Harga paket juga ada, 11 cd didiskon 30% jadi cuma 199rb. Ini untuk usia 6 bln sampai 5 thn ibu. Diajarkan macam-macam dengan gambar hidup yg menarik dan lagu-lagu yang bagus ...” Seorang pramuniaga sukses menghentikanku dan memaksaku mendengarkan semua ocehannya. Responku hanya mengangguk-angguk kecil dan tersenyum tipis, kemudian ngeloyor pergi diiringi pandangan maklum sekaligus kasihan dari sang pramuniaga. 'Maklum' karena 'penolakan adalah salah satu resiko pekerjaannya dan 'kasihan' karena ibu muda ini tak mengerti bagaimana caranya menggunakan media untuk melejitkan kecerdasan anaknya, mungkin begitu kata batin si mba pramuniaga itu. Tapi benarkah itu?

Tau kah si mba? Walaupun aku ngeloyor pergi menyusul kaisar dan ayahnya yang sudah asyik di arena mandi bola, tapi hati dan pikiranku masih tertinggal untukmu, koreksi, maksudku masih keingetan cd itu. Haruskah aku membelinya? Akankah efektif untuk kaisar? Kemudian melintas lagi percakapan beberapa pekan yang lalu dengan seorang rekan kerja ...

“Jeng sis, anakku 18 bulan udah bisa nyebutin namaku, nama ayahnya, kakek nenek om tante sampe semua sepupunya. Trus udah bisa menunjuk sambil nyebutin nama hewan-hewan, ngomongnya udah lancar, logikanya udah jalan, udah bisa dimintain tolong ambil ini itu, udah bisa pake baju celana sendiri, dll ... “

Deg, sebuah palu menghantamku, melemparkan sepihan-serpihan pertanyaan yang menggelisahkan, aku ngapain aja ya selama ini? Ko anakku belum bisa itu semua? Aku musti ngajarin anakku apa aja ya? Gimana caranya?

Imbas dari kegelisahan itu, siang itu juga aku langsung belanja flashcard, mainan edukatif dan puzzle carpet. Dan sorenya, aku dengan sangat berambisi menhujani anakku dengan berbagai gambar dari flashcard, memaksa anakku untuk bermain dgn mainan edukatifnya, mencoba mengajarkan anakku menyusun puzzlenya. Dan hasilnya, kecewa berat. Anakku tak mendengarkan ocehanku saat menyebutkan nama-nama benda lewat flashcard, tapi dia sangat tertarik untuk mengeluarkan semua kartu-kartu itu lalu memasukkan satu persatu kartu tersebut kedalam boxnya. Hasilnya adalah frustasi, karena anakku mengabaikan petunjukku untuk memasukkan donat warna warninya sesuai dengan urutan besar kecilnya ke menara, tapi dia sangat tertarik untuk memasukkan semua donat-donat itu dengan urutan suka-suka dia, berulang kali. Hasilnya adalah stress, saat anakku tak mengindahkanku untuk memasangkan puzzle-puzzlenya, tapi dia tertarik untuk menggigiti, memintaku memasangkan, lalu dia mengeluarkannya lagi begitu berulang kali, lalu memelintirnya untuk menguji kelenturan bahannya.

Sampai akhirnya, ambisiku mengecil dan padam dengan sendirinya. Aaaahh tak mudah jadi ibu muda di era teknologi informasi saat ini. Ibu dituntut untuk cerdas dan anak dipaksa untuk belajar. Ingin sekali menarik diri ke jaman aku dilahirkan. Zaman itu tentunya belum mengenal penelitian teranyar tentang cara-cara efektif melejitkan potensi anak, tak pula mengenal teknologi-teknologi sebagai media belajar anak, tapi aku, suamiku atau siapapun yang lahir zaman itu baik-baik saja, bukan golongan terbelakang, bisa membaca, berhitung, mengaji, mengenal benda-benda, makhluk hidup, dll tepat pada waktunya. Bahkan para ilmuwan dan akademisi yang melakukan penelitian atau yang menemukan teknologi belajar anak usia dini itupun mungkin juga lahir dan besar pada era yang sama-sama buta teknologi.

Jadi, bagaimana ini?

Dalam galauku ku berpikir, salah rasanya kalau harus kembali kemasa-masa kegelapan buta tekonologi sementara Kaisar hidup dizaman terang benderang teknologi seperti ini. Tapi tak dapat dibenarkan juga jika harus menuntut dan memaksakan Kaisar untuk belajar menguasai semuanya, sesuai dengan caraku. Tidak, anakku akan belajar dengan keinginannya sendiri dan dengan caranya yang unik. Biarlah dia memilih, mana yang dia suka, dengan cara apa dia akan belajar. Aku percaya suatu hari nanti kaisar akan menunjukkan progres yang besar. Aku, bundanya hanya perlu mendukungnya.

Arena bermain, ahad sore

Ini adalah kali kedua kaisar kami bawa ke arena bermain anak di sebuah mall di kota kami. Mainan pertama yang di minatinya adalah mobil-mobilan kecil berwana pink. Awal mulanya kaisar belajar membuka menutup pintunya, kemudian berusaha memasukkan bokongnya, lalu keluar lagi, kemudian memasukkan satu kakinya, lalu keluar lagi, kemudian memasukkan kedua kakinya, lalu keluar lagi, sampai pada tahap duduk di depan kemudi, menutup pintu lalu dadah-dadah dan kissbay sama ayah bunda, lihat deh wajahnya senang & bangga. Di kolam mandi bola, kaisar hanya diam mengamati sekeliling, tak bergerak dari tempatnya, tak juga mencoba melempar dan menghamburkan bola-bola itu, responnya hanya menjerit kegirangan, memandang antusias saat melihat bocah-bocah lain berlompatan, menyelam & mengacaukan bola-bola dalam kolam. Mungkin kaisar juga ingin seperti itu, tapi sayang kaki-kaki kecilnya masih belum kuat untuk mencoba gerakan-gerakan itu. Selanjutnya dia beralih ke rumah-rumahan di sudut sana, Kaisar keluar masuk, main ciluk ba dan mencoba melompati jendela. Kemudian, dia tertarik main perosotan, tapi tak mau naik tangganya, jadi langsung saja memanjat perosotannya :D. Padahal di kunjungan pertama tempo hari, Kaisar tak mau main perosotan dan hanya melongok rumah-rumahan itu. Tapi rupanya dia mengamati dan belajar, lalu memutuskan ingin mencobanya sendiri hari ini.

Begitulah anakku, ku kira tak hanya Kaisar yang harus belajar untuk berkembang, bundanya juga harus belajar untuk memahaminya. Seolah tau apa yang ku pikirkan sedari tadi, ayahnya berbisik padaku,

“Bunda, ayah ga ingin nuntut apa-apa dari kaisar, ga pengen kaisar pinter baca, hitung, atau memaksakan dia belajar ini itu diusianya yang masih batita, ayah cuman ingin kaisar jadi anak yang bahagia dan disayangi. Itu lebih penting dari kehebatan kognitif manapun.”

Tidak ada komentar: