Minggu, 08 Januari 2012

SATE MARANGGI

Siang itu, tepat saat adzan zhuhur berkumandan, bersamaan dengan matangnya balado ati ampla di wajan, serta berbarengan dengan suara perutku yang berteriak kelaparan, dering telepon berbunyi,

“Cha, papa ngajakin makan siang di luar, sekarang. Udah ditungguin.” Suamiku berseru dari ruangan tengah. Alhamdulillah papa mertua ngajakin keluar, makan diluar is mean jalan-jalan. I love walking-walking :D. Maka segera kutuntaskan masakanku, mandi, sholat dan berkemas. Masakanku bisa menunggu sampai malam atau besok pagi, tinggal diangetin lagi, tapi kesempatan makan-makan n jalan-jalan jarang terjadi, so harus disambut dengan suka hati :D.

Singkat cerita, kami berenam –kedua mertua, seorang ade ipar, suami, aku dan kaisar anakku- sudah duduk rapi di mobil, rupanya Papa mertua berniat mengajak kami mencicipi sate maranggi di Cipanas. Apa itu sate maranggi? Aku tak tau pasti, namanya saja baru ku kenal kali ini, belum juga pernah melihat iklannya di tivi, yang jelas ini makanan khas bangsa ini, bukan dari luar negeri :D.

Sampai di Ciawi, macet menjebak kami, padahal kami berharap segera menyantap sate maranggi untuk menyudahi lapar ini. Untungnya di sepanjang jalan ciawi itu banyak penjaja makanan. Maka 3 bungkus tahu sumedang, gemblong dan kripik singkong ludes tak bersisa. Tapi apakah itu cukup? No, namanya juga orang Indonesia, belum kenyang kalo belum kena nasi :D.

Satu hal yang kupelajari dari setiap perjalanan dengan keluarga mertuaku ini, hati tak boleh rusuh, tinggalkan semua beban pekerjaan n penderitaan lainnya di rumah, di sini semuanya harus ceria dan sebisa mungkin menikmati kondisi yang ada. Seperti saat itu, dengan tangki –baca lambung- masih miring, diperparah dengan macet berjam-jam (kebetulan hari itu tgl 2 Jan 2012 :D), maka untuk menghibur diri, kami sibuk mengabsen rumah makan di sepanjang jalan dan membaca keras-keras menu makanannya sambil berkomentar sana sini. Sebetulnya itu sedikit menyindir Papa supaya menepi dan mengizinkan kami isi tangki, tapi sayang sindiran tak mempan, papa tetep lurus hati dengan tujuan semula, sambil ikut-ikutan menceritakan betapa lezatnya sate maranggi itu, bentuknya yang besar-besar, rasanya yang manis gurih dll, membuat perut semakin keroncongan tetapi hati semakin penasaran, sungguh-sungguh situasi yang dilematis :D.

Singkat cerita, sampailah kami di tempat makan yang dimaksud. Semua orang di mobil –kecuali papa tentunya- melongo melihat tempat itu. Kami pikir akan makan di resto yang nyaman dengan pemandangan pegunungan. Ternyata papa menggiring kami jauh-jauh ke Cipanas dengan menempuh perjalanan 4 jam lebih plus membawa penderitaan kelaparan akut, untuk makan di warung tenda biru yang berdiri di trotoar jalan dengan pemandangan jalan raya puncak-cipanas yang rame pisan :D

Tahukah apa itu sate maranggi kawan? Itu sejenis sate-satean, hanya saja bukan kambing, ayam atau kelinci yang jadi korban, melainkan sapi. Jadi sate maranggi itu sate sapi, entah kenapa di namakan maranggi, papa pun tak tahu asal usulnya. Yang jelas, aku tak dapat menikmatinya, karena teksturnya tak dapat berkompromi dengan gigiku yang goyang. Di perjalanan pulang, semua sibuk berkomentar tentang sate itu, dan merencanakan jumlah yang pas yang seharusnya dipesan untuk memuaskan selera masing-masing, agaknya semuanya bisa menikmati sate itu kecuali aku, buktinya semuanya kompak akan puas dengan 10 tusuk, sedangkan aku bilang cukup 5 tusuk saja sambil berdoa semoga gigiku baik-baik saja :D

Tidak ada komentar: